Kisah tentang Kerang Ajaib (Cerita Fiksi)



Perjalanan panjang terasa terbayar lunas. Derau ombak yang saling berhantaman menjadi pengiring kedatangan. Pasir putih yang terhampar begitu luas seakan memberikan salam selamat datang bagi setiap kami yang menghampirinya. Sinar terik matahari seakan terabaikan saat kami telah berada di tempat ini. Tepi pantai Drini di Gunung Kidul telah menjadi tempat terbaik kami untuk sekedar duduk, bernyanyi, dan menunggu tenggelamnya matahari.
            Saat itu, matahari memang terasa begitu menyengat. Kami datang saat ia sedang berada di puncak semangat membagikan sinarnya kepada bumi yang cukup kecil. Menepi di tempat yang teduhpun terasa sia-sia karena kami telah menempuh perjalanan sejauh ini. Kami memutuskan untuk mendekat ke tepian air secara sengaja untuk sekedar membasahi diri. Di tepi pantai, ikan-ikan kecil seolah menggiring kami untuk menyelam lebih dalam lagi. Kami bertiga berjalan terus, menyusuri tepi laut mengikuti arah kemana ikan-ikan kecil itu pergi. Hingga suatu ketika, kami dikejutkan saat ikan-ikan itu berenang mengarah ke sebuah benda kecil. Benda tersebut menyerupai kerang yang sudah sedikit terbuka tempurungnya. Kami menjadi penasaran tentang hal-hal berharga yang terdapat di dalam kerang. Terbayang oleh cerita-cerita di serial TV saat kami masih kecil bahwa kami akan menemukan harta karun berupa mutiara saat membuka kerang tersebut. Rasa penasaran kamipun kian tak terbendung saat ikan tersebut semakin giat untuk mengelilingi sang kerang. Kami memutuskan untuk mengambilnya. Aku, sebagai seseorang yang dianggap paling berani terhadap segala sesuatu, diberikan mandat oleh kedua teman yang lain untuk memungut kerang tersebut. Tanpa berpikir panjang, kami mengambilnya dan membawanya ke tepi pantai. Salah satu teman kami yang tidak ikut bermain airpun bertanya-tanya tentang kerang tersebut. Kami menjawabnya dalam diam, karena rasa penasaran kami terhadap isi kerang ini lebih besar bila dibandingkan dengan rasa penasarannya.
            Tidak mudah untuk membuka tempurung kerang tersebut. Beberapa cara telah kami lakukan, baik itu dengan cara menghempaskannya ke pasir, hingga membukanya secara paksa menggunakan bantuan pemukul oleh bebatuan di pinggir pantai. Kami memerlukan beberapa saat untuk dapat menemukan cara membuka dan mengetahui isi kerang. Saat ia telah terbuka, kami berempat dibuat terkejut oleh apa yang terdapat di dalamnya. Bagaimana tidak, terdapat beberapa lembar uang seratus ribu yang telah basah oleh air dan pasir laut. Awalnya, kami menyangka bahwa itu uang palsu. Setelah melakukan pemeriksaan sebagaimana mestinya, kami berempat meyakini bahwa itu adalah uang asli. Kami sempat berdiskusi tentang tindak lanjut yang akan kami lakukan terhadap keberadaan uang ini. Diskusi awal memutuskan untuk memberikannya kepada petugas setempat. Namun, karena saat itu hari sudah menjelang sore, kami sulit menemukan petugas yang menjaga pantai. Bahkan beberapa pedagang tepi pantai pun sudah menutup kios mereka.
Saat itu pantai memang cukup sepi. Diskusi lanjutan kami memutuskan untuk beranjak pulang karena hari sudah mulai petang. Uang dalam kerang tersebut kami anggap sebagai oleh-oleh dari dewa laut Yang Maha Perhatian kepada kami mahasiswa yang sedang hidup merantau. Di tengah perjalanan pulang, kami berhenti sejenak untuk beristirahat sembari mencari makan malam. Rejeki yang diberikan oleh sang dewa laut kami pakai untuk membeli makanan yang cukup mahal, setidaknya cukup untuk membiayai makan kami berempat. Saat itu, kami membeli sate klatak Pak Pong, sebagai salah satu rumah makan yang cukup terkenal di daerah ini. Aroma satenya sangat khas. Namun, untuk dapat menikmatinya, kami harus menunggu antrian dua jam lamanya. Wajah kami sudah pucat pasi. Kelaparan. Tidak perlu menunggu komando, kami langsung melahap habis makanan yang telah kami pesan saat menu yang kami tunggu-tunggu datang. Setelah dipakai untuk membayar makanan kami, sisa uang dari kerang tersebut sengaja kami tinggalkan di meja makan dengan harapan ditemukan orang lain hingga kemudian ia dapat merasakan kebahagiaan kami juga. Kami pulang dengan harapan bahwa makanan dari hasil uang kerang tidak menjadi hal yang membahayakan tubuh kami. Setibanya di rumah, perasaan aneh menyelimuti kami berempat. Entah karena kami terlalu lelah atau terlalu bersemangat untuk memakan satu porsi sate Klatak, kami merasa ada yang aneh pada isi perut kami. Namun, kami berpikir bahwa hal tersebut akan pulih dengan dioleskan minyak atau istirahat hingga esok pagi. Kami memutuskan untuk tidur lebih cepat.
Di pagi hari yang cerah, matahari telah menyisipkan simpul senyumnya dari ufuk timur. Sinarnya menembus celah gorden yang terpasang di jendela kamar. Aku terbangun dengan perut yang penuh gejolak. Terasa mual, namun untuk mengeluarkannya aku tidak sanggup. Ia seperti tertahan di tenggorokan dan tak kuasa untuk keluar dari tubuh mungil ini. Aku memutuskan untuk istirahat lagi selama beberapa jam kedepan.
Telefon berdering. Membangunkanku yang terlelap lagi hingga sore hari. Ternyata telefon dari temanku, patnerku berkunjung ke pantai Drini sehari sebelumnya. Ia mengeluhkan hal yang serupa kepadaku. Awal mulanya, kami mengira bahwa hanya kami yang mengalami sakit-sakit seperti ini. Namun ternyata, kedua temanku yang lainpun juga demikian. Bahkan, mereka sempat harus ke kamar mandi berulang kali karena terserang diare. Dugaan awal kami adalah kami sedang keracunan sate klatak yang telah kami makan petang hari kemarin. Sehingga kami memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter keesokan harinya. Kami menahan diri untuk tidak memakan makanan-makanan aneh dulu sebelum kami tau penyebab dibalik sakit yang telah kami derita. Seharian penuh, kami hanya memutuskan untuk memakan bubur dan minum teh tawar hangat. Kami rindu makanan lezat. Begitu gumam kami. Namun tubuh kami sedang menolaknya.
Keesokan paginya, kami berempat berangkat untuk memeriksakan diri ke dokter. Setibanya di dokter, antriannya begitu panjang. Menyebalkan saat harus menunggu dengan kondisi tubuh yang sudah lemas dan mual. Bahkan, lebih menyebalkan lagi ketika melihat dua teman saya berlalu-lalang dari antrian ke toilet terdekat karena terserang diare hebat. Setelah menunggu sekitar 2 jam, akhirnya giliran kami datang. Kami masuk satu per satu ke ruang dokter yang telah tersedia. Setiap kami periksa selama kurang lebih 15 menit. Betapa terkejutnya kami ketika dokter mengatakan hal yang sama kepada kami berempat bahwa kami sedang tidak keracunan makanan. Kami sungguh bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada tubuh kami. Bila tidak keracunana makanan, lantas hal apa yang membuat tubuh kami menjadi seperti sekarang ini, melakukan penolakan kepada setiap makanan-makanan lezat yang biasanya kami makan dengan lahapnya. Akhirnya, kami memutuskan untuk pulang dan berunding bersama di rumah saya.
Setibanya di rumah, kami berkumpul di ruang tamu yang cukup pengap. Malam itu memang terasa gerah. Belum lagi ditambah perasaan menahan sakit atas apa yang terjadi pada perut dan tubuh kami. Kami berdiskusi tentang apa yang telah terjadi hingga salah satu teman saya teringat tentang kejadian perihal kerang ajaib. Ia bertanya apakah segala sesuatu yang terjadi pada tubuh kami akibat dari kami yang ceroboh dan memakai uang yang bukan milik kami secara tidak bertanggungjawab. Kami bertiga bingung dan hanya bisa menggelengkan kepala. Tanda bahwa kami tidak menolak namun juga tidak mengiyakan pernyataannya. Namun, setelah kami ingat kembali, tiga hari ini kami sudah terpuruk dengan sakit perut yang begitu mencekit. Bahkan, minum pereda nyeripun tidak memberikan hasil yang signifikan pada tubuh kami. Jika memang penyakit ini berasal dari kerang ajaib, maka tak banyak yang bisa kami lakukan karena kami telah membuang kerang tersebut di sembarang tempat di tepi pantai. Jika kami kembali ke pantai Drini, mungkin membutuhkan waktu seharian penuh untuk kemudian mencari dan dapat menemukannya. Petir menggelegar hebat di tengah kacaunya pikiran kami akan masalah ini. Hujan menyusul begitu lebatnya menambah kepanikan di antara kami berempat yang tengah berunding di ruang tamu yang kecil ini. Karena sudah terhimpit keadaan, sayapun mulai mempercayai pendapat yang disampaikan oleh teman saya. Saya menganggap bahwa tidak ada salahnya dicoba kembali ke pantai Drini daripada harus terpuruk dengan mual dalam jangka waktu yang lama. Kedua teman saya yang lainpun kemudian tidak menolak bila seandainya harus kembali ke pantai yang sama untuk menemukan kerang ajaib dan mengembalikan uang yang telah kami pakai secara tidak bertanggungjawab tempo hari yang lalu. Namun, bukan berarti mereka ikut begitu saja. Mereka mengajukan permohonan agar kita menyewa mobil untuk kemudian dipakai perjalanan pulang pergi ke pantai Drini. Hal tersebut disebabkan karena mereka tidak kuat untuk duduk lama di motor dan harus menyetir kendaraan roda dua dalam keadaan diare hebat. Akhirnya, kami memutuskan untuk menyewa mobil di rental mobil terdekat dengan rumah.
Pagi-pagi buta, kami bergegas untuk mempersiapkan diri melakukan perjalanan yang cukup jauh. Beberapa obat pereda nyeri, mual, dan diarepun kami siapkan untuk bekal saat perjalanan. Kami memutuskan untuk mengendarai mobil secara mandiri karena tidak mau ada orang lain yang tau tentang masalah yang sedang kami alami. Sehingga, karena sakit mual saya lebih ringan bila dibandingkan kedua teman saya yang terkena diare, mereka menyerahkan kemudi mobil ke saya. Perjalanan kali ini terasa begitu lambat. Bahkan, kami harus berhenti setiap 20 menit sekali hanya untuk mencari toilet terdekat untuk kedua teman kami. Kami juga menyempatkan diri untuk mampir mencari bubur di tepi jalan demi menghindari keadaan perut yang kosong. Setelah kurang lebih 4 jam perjalanan, kami tiba di perbatasan pantai. Saat itu, suasana begitu lenggang. Kami datang saat hari kerja. Sehingga, pantai nampak begitu sepi. Penjual yang sedang berdagangpun juga dapat dihitung jari. Kami berempat memutuskan untuk menyebar. Hal tersebut disebabkan untuk mempermudah pencarian. Di samping itu, membuat pencarian kerang terasa lebih efektif dan efisien.
Kami berempat berjalan menyusuri tepi pantai. Beberapa dari teman kami sempat memperoleh sapaan dari beberapa pedagang yang berjualan di tepi pantai. Bahkan mereka bertanya tentang apa yang sedang kami lakukan. Teman kami hanya menjawab dengan hal-hal yang tidak sesuai fakta untuk mengecoh pedagang. Mereka begitu bersyukur karena para pedagang tersebut lantas mempercayainya begitu saja. Beberapa jam mencari dan menyusuri pantai, keempat dari kami belum menemukan kerang ajaib tersebut. Kerang yang menjadi wadah uang yang telah kami bawa ini memang sungguh sulit untuk ditemukan. Kami sempat berputus asa menghadapi kenyataan ini. Kemudian, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di tepi pantai. Sayapun beranjak untuk membeli air degan murni untuk menetralkan keempat perut kami. Sembari menunggu redanya terik matahari, kami berbaring di tepi pantai. Sayup dan belaian angin semilir menghipnotis kami untuk kemudian terlelap hingga sore hari.
Saya terbangun untuk yang pertama kalinya. Matahari masih terik, namun sedang berupaya meredupkan sinarnya di ufuk barat. Karena takut pulang terlalu malam, saya kemudian membangunkan ketiga teman yang lain untuk kemudian melanjutkan pencarian kerang ajaib. Ketika sedang membangunkan salah satu teman, begitu terkejutnya kami ketika ia bangun dengan berteriak. Kami memberikannya minuman untuk menyadarkan ia dari dunia mimpi. Ia bercerita bahwa ia sedang berada di tepi pantai sendirian. Dari tengah laut, ada makhluk yang sedang melambai-lambai padanya tanpa kepala. Di bawah makhluk tersebut, terdapat kerang ajaib yang sedang kami cari-cari seharian penuh. Kerang tersebut nampak berkilauan lengkap dengan beberapa lembar uang yang terdapat di dalamnya. Namun, secara tiba-tiba, makhluk tersebut menutup kerang dengan kasar dan menjatuhkannya ke dasar laut lalu kemudian lari mengejar teman saya. Mimpi tersebut usai karena saya membangunkannya.
Ketakutan akan makhluk di mimpi teman kami tersebut membuat kami berempat langsung bergegas kembali mencari kerang ajaib sebelum hari semakin petang. Di tengah terbenamnya matahari, salah satu teman kami berteriak dari ujung tepi pantai. Ia menemukan bongkahan kerang yang tertutup dengan pasir. Saat kami mendekat, ia telah mengambil bongkahan kerang tersebut lalu menunjukkannya kepada kami. Kami awalnya ragu dengan bentuk dari kerang tersebut. Namun, setelah kami amati secara lebih mendalam, terdapat bekas patahan kecil di ujung kerang akibat kami membukanya secara paksa menggunakan batu pantai kemarin. Kami mengingat dengan benar keberadaan dari bekas patahan kecil di ujung kerang. Sehingga kami yakin bahwa kerang itulah kerang yang selama ini sedang kami cari. Tanpa menunggu waktu yang lama, teman saya membersihkan kerang tersebut dan menyelamkannya beberapa kali ke laut untuk dapat menghilangkan pasir-pasir yang menempel. Setelah nampak bersih, kami mengeluarkan sejumlah uang yang telah kami bawa untuk kemudian kami masukkan ke dalam tubuh kerang. Kami meyakini bahwa hal yang sedang kami lakukan adalah hal terbaik yang kami anggap benar. Setelah melipat uang tersebut menjadi beberapa bagian, kami menyelipkan uang yang jumlahnya sama persis seperti jumlah uang yang kami ambil dari kerang tersebut beberapa hari yang lalu. Setelah semuanya nampak rapi, kami berempat berjalan ke tengah laut untuk kembali meletakkan kerang ajaib di lokasi awal dimana kami menemukan dan mengambilnya. Ketika kami merasa bahwa tugas kami sudah selesai, kami berlarian menuju tepi pantai karena takut dengan hal-hal aneh yang terjadi jika kami terlalu lama berada di lokasi sekitar kerang ajaib. Kami mengucapkan selamat tinggal pada kerang ajaib dengan begitu cepat kemudian langsung lari menuju mobil untuk melanjutkan perjalanan pulang.
Perjalanan pulang terasa lebih lenggang namun penuh dengan harapan. Harapan akan hilangnya kutuk akibat pemakaian uang dalam kerang ajaib secara tidak bertanggungjawab. Saat pulang, kami hanya memerlukan waktu 2 jam untuk dapat tiba di rumah. Ketiga temanku memutuskan untuk menginap bersama sembari menunggu reaksi terhadap tubuh kami setelah kami mengembalikan apa yang bukan menjadi milik kami.  Malam itu, kami memutuskan untuk tidak memakan apa-apa mengingat betapa berdebarnya hati kami akan perjalanan yang telah kami lakukan sejak pagi-pagi buta. Tentang mimpi yang dialami oleh teman kami yang memaksa kami untuk tidur dalam satu kamar. Kami memang begitu penakut bahkan terhadap hal-hal yang hanya terdapat pada mimpi. Ketakutan kami bahkan membuat kami lupa tentang perasaan sakit, mual maupun diare hebat yang tengah kami alami selama beberapa hari terakhir. Hingga pada akhirnya, kami berempat terlelap dengan kelelahan akan cerita kerang ajaib selama seharian penuh ini.
Keesokan harinya, matahari bersinar lebih terik bila dibandingkan dengan hari-hari yang sebelumnya. Burung-burung bahkan berkicauan lebih merdu dari luar jendela kami. Saat itu sekitar pukul 8 pagi. Kami terbangun dengan tubuh yang terasa berbeda. Saya merasa lebih bugar dari hari kemarin, begitu pula yang dirasakan oleh ketiga teman saya yang lain. Kami berempat dibuat begitu terheran-heran dengan apa yang sudah terjadi. Kami sedang berada di antara batas percaya dan tidak percaya tentang kisah di balik sembuhnya kutuk kami. Diare dan mual hebat yang kami rasakan bahkan sudah hilang sepenuhnya. Nafsu makan kami kembali meningkat, bahkan kami langsung bergegas menuju meja makan dapur untuk menemukan makanan-makanan lezat yang sudah dimasakkan bibi sebagai hidangan untuk kami berempat. Sebelum makan, kami melakukan doa bersama. Mensyukuri kebaikan-kebaikan yang sudah terjadi di hari yang begitu ceria ini. Setelah mengucapkan doa, kami berjanji untuk tidak melakukan hal-hal aneh saat berada di tempat asing. Kami percaya bahwa apa yang memang milik kami, akan kembali kepada kami dan apa yang bukan milik kami, sekeras apapun usaha kami untuk memilikinya, akan kembali hilang dengan sendirinya. Kamipun berterima kasih kepada kerang ajaib atas pelajaran yang kami dapatkan selama seminggu ini. Tentang belajar bersyukur dan tidak sembarangan dalam bertindak dimanapun kami berada. Terima kasih kerang ajaib!

Comments

POPULER

Menikmati Senja di Pantai Watu Kodok

Bromo Tengger Semeru, Deretan Keindahan Alam yang Memikat Hati

Rindu, Bawa Saya Kembali!